hariansuara.com - Kisah kepahlawanan seorang Panglima biasanya didominasi oleh pria. Penampilan mereka biasanya gagah perkasa dengan berbagai pernik-pernik perang, seperti pedang, tombak, dan tameng.
Tapi tidak untuk 'Panglima' yang satu ini. Sapaannya, Hetty (34). Nama panjangnya Hetty Kus Endang, mirip penyanyi terkenal Tanah Air di era '80-an. Ia ibu dua anak, berpostur mungkil, tetapi kiprahnya sangat besar dan berarti bagi suku Dayak penghuni asli Pulau Kalimantan.
Ketua AKSES, Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis, Suroto berbagi catatan bincang di pertemuannya dengan 'Panglima' Dayak Hetty. Mari kita simak:
Kerahkan Ratusan Perajin Tenun Dayak
Beberapa waktu lalu, di luar sangkaan Hetty, kain tenun dayak menjadi pakaian resmi Presiden dan para pemimpin dunia pada penyelenggaraan World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali. Di bawah supervisinya, ratusan perajin Dayak dikerahkan untuk membuat Kain Pantang tenun asli Dayak demi memenuhi permintaan Pemerintah di forum prestisius tersebut.
"Saya tidak menduga sebelumnya kalau tenun Pantang kami dipilih sebagai pakaian resmi yang dipakai Presiden Joko Widodo dan pemimpin-pemimpin dunia itu. Bahkan saya sangat kawatir tidak dapat memenuhi permintaan mengingat standard kualitas, mengingat waktu yang ada sangat singkat. Apalagi permintaannya sangat khusus, yakni dibuat lebih panjang dari yang biasa dibuat oleh penenun kami," ungkap Hetty akan saat-saat yang menegangkan itu.
Tak berlebih jika disematkan sebutan 'Panglima Dayak' bagi Hetty sebab ia telah ikut menyelamatkan warisan budaya nenek moyangnya berupa tenun Dayak yang terkenal dengan nama kain Pantang. Pun, karya kriya Dayak lainnya yang artistik dan bernilai spiritual tinggi. Lebih dari itu, ia telah memberi nilai manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat Dayak.
Kecintaan Hetty pada tenun dan kriya Dayak warisan nenek moyangnya ini sudah ada sejak lama. Namun usahanya untuk mengembalikan kebanggaan anak anak muda pada hasil kriya Dayak, sekaligus berdayakan ekonomi para artisannya baru terinspirasi saat ia bertugas di lapangan. Tepatnya, pada program Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (PSP3) di Lasem, Pati, Jawa Tengah selulusnya dari Univesitas Satya Wacana, Salatiga.
"Terus terang saya terinspirasi oleh Batik Lasem. Bagaimana industri rumahan yang jumlahnya terbatas itu bisa menghidupi keluarga dan menciptakan peminatnya," imbuh Hetty.
Lakukan Perubahan
Hetty berasal dari Sintang, Kalimantan Barat, dan keturunan sub-suku Dayak Uud Danum. Ia sempat bekerja di Jawa. Namun, kembali ke Kalimantan untuk merawat orang tuanya yang sakit. Mulai dari nol kiprah kerjanya di satu perusahaan karet. Ketika itu Di saat bekerja di perusahaan karet ini hatinya mulai terketuk melihat nasib anak anak muda Dayak.
"Saya lihat anak anak muda Dayak hanya bekerja jadi buruh di kebun karet dan sawit. Gajinya rendah. Tidak ada pekerjaan lain. Mereka susah mencari pekerjaan, karena pendidikanya juga rendah. Saya ingin ada perubahan," tukas Hetty.
Singkat cerita, Hetty keluar dari tempat kerja lamanya, lalu melamar pekerjaan baru di bank dan Credit Union /CU (Koperasi Kredit). Diterima di kedua pekerjaan, tapi Hetty menjatuhkan pilihannya bekerja di CU Keling Kumang. Dari seniornya di Organisasi Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), CU lebih tepat bagi Hetty, sebab ada kegiatan pemberdayaan di sana.
Benar saja, di CU ini Hetty dapat mengembangkan idealisme pemberdayaan bagi masyarakat. Sekaligus pula belajar banyak tentang manajemen, membangun jaringan kerja, bahkan mendapatkan modal awal untuk memulai usaha.
Di CU, Hetty juga berkesempatan bertemu banyak orang dengan visi sama untuk memberdayakan masyarakat. Sebut saja, CEO CU Keling Kumang, Yohanes RJ, yang banyak membimbingnya sebagai staf. Kemudian Munaldus Nerang, pendiri CU Keling Kumang.
" Pak Munal telah memberikan inspirasi bagi saya, bagaimana 32 tahun silam dia bangun gerakan CU Keling Kumang dan menciptakan banyak pekerjaan yang layak bagi orang Dayak. Saya anggap apa yang saya lakukan ini juga hal yang sama sebagai gerakan. Sebab, tenun dan pelestarian budaya itu tidak dapat dikerjakan sendiri," tegas Hetty.
Kecintaan Hetty pada wastra Dayak ini sesungguhnya sudah sejak lama. Dia mulai dengan menjual tenun kepada teman-temannya sebagai oleh-oleh dari Sintang. Diyakininya, jika tenun dipasarkan dengan serius akan dapat memberi nilai tambah ekonomi bagi banyak keluarga. Dari modal terbatas, ia bergerak. Kebetulan ibu mertuanya seorang penenun, maka ia kian mantap mengembangkan usaha di seputar tenun dengan aktif memasarkannya di media sosial.
Tarik Minat Kaum Muda Dayak Tekuni Tenun
Dengan dukungan dari lembaga seperti CU, mertua, dan suaminya, Hetty beranikan diri membeli rumah milik keluarganya yang dijadikan sebagai galeri. Di sana ia memajang kain Pantang, menjahit, dan juga menyewakan busana tenun Dayak. Ia juga mengoperasionalkan yayasannya di sana sebagai Rumah Belajar Kain Pantang bagi anak-anak Dayak tentang memproses kain pantang, teknik pewarnaan, sampai kegiatan pelestarian budaya Dayak.
Hetty bersyukur, sekarang penerimaan anak anak muda Dayak terhadap tenun berkembang pesat. Berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Mereka menganggap kuno teknik tenun dengan pewarnaan alami. Anak muda dan perajin tenun Dayak telah menerima kelebihan pewarnaan alami itu ramah lingkungan, juga aman bagi kulit dan penting dalam pelestarian alam. Dicontohkan Hetty, pohon Engkerebang itu multiguna, baik sebagai obat tradisional, aman diminum, terlebih baik untuk mewarnai kain.
Cita-cita Hetty sesungguhnya ingin melestarikan budaya Dayak. Pun, bagaimana usaha pelestarian budaya itu mampu mengangkat harkat dan martabat orang Dayak, sekaligus menyelamatkan lingkungan.
Diingat Hetty tentang bincang dengan orang tuanya. "Sejak kebun Sawit masuk, hidup orang Dayak, kata mendiang Ayah saya, seperti bom teroris. Hanya saja sawit membunuh secara perlahan. Orang Dayak yang hidupnya dari kekayaan keanekaragaman hutan perlahan kehilangan tanah warisan karena iming-iming investor perusahaan sawit," ujar Hetty.
"Harga sawit dikendalikan para pemilik perusahaan dari luar itu, sehingga menciptakan kemiskinan di mana-mana. Lingkungan rusak, bahkan air minum pun harus dibeli. Saya ingin anak anak muda Dayak melihat Engkerebang, pohon lengkar, pohon mangga, dan lain lain sebagai 'pohon uang', bukannya sawit." (*) Suroto/MTS Foto: Suroto
Lakukan login terlebih dahulu untuk menambah komentar dan voting
KOMENTAR TERBARU