hariansuara.com - Hari ini, Rabu, 9 April 2025, seperti disampaikan Presiden Donald Trump, Amerika Serikat akan mulai memberlakukan tarif timbal balik (reciprocal tariff) kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia. Disebutnya, pemberlakuan ini adalah 'Hari Pembebasan" bagi ekonomi Amerika dari ketergantungan impor.
Dikatakannya, Amerika akan menjadi kaya lagi. Di Amerika akan terbangun iklim yang kondusif bagi perekonomian dalam negeri. Pabrik-pabrik hidup kembali, lapangan kerja kian terbuka, pun pendapatan pemerintah federal bisa meningkat.
Efektif Sabtu lalu ((5/4/2025) kebijakan tarif universal sebesar 10 persen telah diberlakukan bagi produk impor dari semua negara yang dipasarkan di AS.
Sedangkan tarif khusus resiprokal diterapkan hari ini bagi produk ekspor yang berasal dari sejumlah negara dunia, termasuk Indonesia. Besaran bea masuk produk asal ASEAN ini beragam. Tarif untuk Indonesia 32 persen, Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Malaysia 24 persen, Kamboja 49 persen, Thailand 36 persen, dan Vietnam 46 persen.
Risiko bagi Pegiat Ekspor
Kebijakan Tarif Trump ini dinilai bisa berdampak signifikan bagi negara-negara mitra dagang AS. Indonesia sendiri, misalnya, seperti disampaikan Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, dalam keterangan tertulisnya Jumat (4/4/2025) di Jakarta.
"Kebijakan tarif Amerika ini bisa menimbulkan risiko cukup signifikan bagi Indonesia, karena memukul industri padat karya," katanya.
Berdasarkan survei yang dilakukan NEXT Indonesia, faktanya, pasar Amerika menjadi penyerap tiga komoditas ekspor asal Indonesia. Pakaian dan aksesorinya rajutan mencapai 60,5 persen atau senilai US$12,2 miliar. Komoditas pakaian dan aksesorinya bukan rajutan sebesar 50,5 persen bernilai US$10,7 miliar. Dan, komoditas mebel, furnitur, serta perabotan sebesar 58,2 persen atau sekitar US$7,5 miliar.
Cukup signifikan pula komoditas ekspor lainnya sepeti produk olahan dari daging, ikan, krustasesea (kelompok udang-udangan) dan moluska atau hewan bertubuh lunak semacam siput dan cumi-cumi.
Jadi, lebih dari separuh dari total ekspor komoditas asal Indonesia yang dikirim ke seluruh dunia tersebut mencapai angka US$30,4 miliar. Tercatat, neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat selama 27 tahun (1998-2024) mengalami surplus.
Pun, dalam kurun lima tahun terakhir (2020-2024), Amerika Serikat menjadi negara tujuan utama sebagai penyerap terbesar komoditas ekspor Indonesia, setelah China.
Dikhawatirkannya, "Pengiriman produk ke Amerika Serikat terhambat gara-gara tarif. Ekspor komoditas-komoditas tersebut bisa terganggu atau bahkan mungkin tumbang. Sebab lebih dari separuh produk-produk tersebut diserap oleh pasar Amerika,” imbuhnya.
Dampak lanjutannya adalah keamanan tenaga kerja di sektor tekstil dan produk tekstil yang jumlahnya lebih dari 3 juta orang. “Ini masalah serius yang harus dipikirkan oleh pemerintah, apalagi saat ini sedang ramai-ramainya informasi tentang PHK,” papar Christiantoko lagi.
Indonesia Ambil Jalur Negosiasi
Menyikapi penetapan tarif resiprokal dari Amerika sebesar 32 persen untuk produk impor asal Indonesia, Pemerintah mempertimbangkan banyak hal. Diantaranya dengan melakukan simposium bersama sejumlah pegiat ekonomi kemarin, Selasa (08/4/2025).
Sejatinya, Presiden Prabowo, seperti halnya para pendiri bangsa, sangat menjunjung prinsip membangun ekonomi untuk berdiri di atas kaki sendiri. Ikhtiar ke arah itu sudah dilakukan, seperti mengikhtiarkan strategi ekonomi yang dapat mewujudkan swasembada pangan dan swasembada energi seiring dengan gagasan Sustainable Development Goals (SDGs) Persatuan Bangsa-bangsa.
Mengutip laman Antara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pemerintah akan melakukan negosiasi ulang dengan AS untuk mencari jalan tengah terkait kebijakan tarif ini.
Pun, para diplomat Indonesia telah menjajaki komunikasi dengan U.S Trade Representative, dan saat ini mereka menunggu proposal konkret dari pihak Indonesia.
Sementara itu, di kalangan masyarakat Amerika Serikat sendiri beragam respons menyeruak. Kelompok pendukung Trump, terutama dari kalangan pekerja industri dan petani di wilayah pedesaan. Mereka menganggap kebijakan ini langkah berani untuk melindungi kepentingan nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap China.
Namun di sisi lain, pelaku usaha dan sektor industri justru menyuarakan kekhawatiran atas imbasnya. Lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan. Sebut saja, berpotensi meningkatan biaya produksi, mengganggu rantai pasok, serta menurunkan daya saing produk Amerika di pasar global.
Dalam konteks ini, kebijakan proteksionisme yang dimaksudkan untuk memperkuat ekonomi nasional Amerika justru berisiko menciptakan tekanan inflasi dan mengurangi kesejahteraan konsumen domestik. (*) Berbagai Sumber/MTS Foto: Jeffry S.S, pexels
Lakukan login terlebih dahulu untuk menambah komentar dan voting
KOMENTAR TERBARU