Login

Username / Email :
Password :
Forgot Password Sign Up
Belum memiliki akun? Daftar Sekarang!
Close [x]
Nasional

Kasandra Putranto: Tak Ada Cara Pasti Menengarai Seseorang Jadi Pelaku KDRT

Nasional
16 Aug 2024
Kasandra Putranto: Tak Ada Cara Pasti Menengarai Seseorang Jadi Pelaku KDRT

hariansuara.com - Lagi-lagi masih saja kasus miris Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) terjadi. Kali ini dialami Cut Intan Nabila (23), selebgram Indonesia sekaligus influencer. Atlet anggar yang berlaga di Kejuaraan Nasional Anggar 2018 itu ternyata tersiksa oleh kekerasan selama lima tahun perkawinannya dengan Armor Toreador (25). 

Menikah di usia muda dan melahirkan tiga anak tak menyurutkan perilaku KDRT Armor. Bahkan aku Nabila, ada puluhan video jadi bukti kekerasan fisik dialaminya. Belum lagi perselingkuhan dengan beberapa perempuan juga menghantam jiwanya. Tak kuat diam, perempuan cantik asal Aceh itu pun speak up, meng-upload video KDRT yang dialaminya Selasa. 

Kepada hariansuara.com, Psikolog Klinis Forensik dari Universitas Indonesia, Dra A. Kasandra Putranto, mengupas tentang pentingnya tindakan segera untuk menolong korban secara holistik, termasuk dari segi hukum hingga memberi tempat bermukim yang aman. 

"Prioritasnya, mengamankan dan menyelamatkan korban, terutama anak-anak dengan meninggalkan lingkungan penuh kekerasan itu. Kemudian, memberi pendampingan oleh psikolog yang kompeten, terutama untuk mengatasi trauma dan ketakutan pada korban dan anak. Terapi perilaku kognitif dapat membantu anak mengatasi kecemasan atau masalah kesehatan mental lainnya akibat trauma (dr. Fadhli, 2022)," ujar Kasandra. 

Dapatkah Rehabilitasi Cegah Kambuhnya Perilaku KDRT?

Kasandra, psikolog yang kini tergabung dalam Kelompok Ahli di Badan Narkotika Nasional (BNN) 2024-2026, menambahkan, rehabilitasi pelaku KDRT proses penting, melibatkan aspek terapi dan pendekatan psikologis, rehabilitasi psikologis, pekerja sosial, dan pendidikan.

Riset menemukan, banyak akar penyebab seseorang melakukan kekerasan. Bisa karena faktor biologis seperti genetika, kerentanan temperamental, kelainan neurokimia, hormon, zat yang disalahgunakan, serta obat-obatan.

Faktor psikologis seperti gangguan mood, cedera otak, kesulitan mengendalikan emosi, rendahnya harga diri, kurangnya empati, dan defisit pemrosesan informasi. Kemudian faktor sosial berupa kondisi lingkungan, interpersonal, kelompok, lingkungan sekitar, perekonomian, dan budaya.

"Penanganan pelaku kekerasan harus holistik. Mulai dari penanganan biologis, psikologis dan sosial, juga disesuaikan dengan hasil asesmen terhadap perilaku untuk mengenali psikodinamika kekerasan yang terjadi. Penanganan medis terkait fungsi otak dan syaraf, genetik, kerentanan fisik yang mendorong timbulnya perilaku kekerasan. Pendekatan psikologis untuk pelaku KDRT dapat mengidentifikasi masalah psikologis apa di balik perilaku kekerasannya. Dengan intervensi yang tepat, diharapkan ia dapat mengubah perilakunya." 

Sementara itu, bagi korban KDRT, penting menanamkan kesadaran dan pendidikan antikekerasan untuk mencegah terulangnya kekerasan di kemudian hari. Terapi dan rehabilitasi berkelanjutan untuk memulihkan psikologis dan membangun hubungan yang sehat. Tak kalah pentingnya, membuat perlindungan dan safety plan serta jalur komunikasi jika KDRT berulang. Ini untuk membantu korban merasa lebih berdaya dan percaya diri," tandasnya.

Adakah Ciri Si Dia 'Berbakat' Pelaku KDRT?

Mengenai sebab perilaku KDRT, papar Kasandra, kompleks. Tak melulu karena merasa insecure (tidak aman). Profil psikologisnya ditandai dengan emosi yang tinggi, marah tak terkendali, dan agresif.

Penyebab lainnya, keuangan rumah tangga yang tidak stabil kerap memicu ketegangan yang berujung pada KDRT. Lalu, adanya pihak ketiga berupa perselingkuhan. Pun, ketidakseimbangan kekuasaan antarpasangan, di mana salah satu pihak lebih dominan. 

Kata Kasandra, tidak ada cara pasti menengarai seseorang kelak melakukan kekerasan. Namun, beberapa faktor bisa jadi pertimbangan. Seperti dilansir Komnas Perempuan (2020), dengan melihat adanya riwayat kekerasan, baik dalam hubungan sebelumnya atau dalam konteks lain yang mungkin lebih berisiko terhadap KDRT. Kekerasan di lingkungan keluarga atau pengalaman pribadi dapat berkontribusi terhadap perilaku kekerasan di masa depan. 

"Halket (2013) menyoroti, sikap dan keyakinan seseorang bahwa kekerasan cara untuk menyelesaikan konflik. Seseorang yang percaya bahwa ia memiliki hak untuk mengontrol pasangan atau anggota keluarga, ini bisa jadi indikator risiko." 

Seseorang dengan masalah emosional, seperti kecemasan, depresi, atau gangguan kepribadian, tak mampu mengelola emosi secara baik, boleh jadi lebih rentan terlibat dalam perilaku kekerasan.

Pun, seseorang yang tumbuh dan berinteraksi di lingkungan sosial yang sering diwarnai kekerasan, kemungkinan besar meniru perilaku tersebut. Pun, seseorang yang tidak mampu berkomunikasi secara sehat bisa beralih ke kekerasan sebagai solusi.

"Perilaku kekerasan dapat dicegah dengan melakukan intervensi dini, pendidikan, dan dukungan psikologis," pungkas Kasandra. (*) Melia H/MTS               Foto: @a.kasandraputranto

TANGGAPAN ANDA MENGENAI BERITA INI

Senang

0

Tidak Peduli

0

Marah

0

Sedih

0

Takjub

0

Lakukan login terlebih dahulu untuk menambah komentar dan voting

KOMENTAR TERBARU

X