
hariansuara.com – Impor pakaian bekas (thrifting) bertahun-tahun terjadi di depan mata. Nyaris di setiap penjuru kota ada toko yang menjualnya langsung ke penduduk setkitar, pun melalui online. Dijualnya dengan harga 'banting' yang sangat murah.
Namun, thrifting ini dikupas oleh dua pakar, yang sama-sama sepakat impor pakaian bekas ini mesti ditindak. Pasalnya, kedatangan barang ilegal itu telah merugikan negara, sekaligus masyarakat. Berikut ulasan Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, dan Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto.
Christiantoko: 5 Ancaman di balik Kasus Impor Pakaian Bekas
Thrifting merugikan negara dan masyarakat, simpul Christiantoko di Jakarta (30/10/2025). Pertama, barang masuk tanpa izin alias diselundupkan berarti hilangnya potensi pendapatan negara dari bea masuk.
Kedua, karena masuk secara ilegal, pakaian bekas impor itu dijual dengan sangat murah di pasar dalam negeri. Alhasil, industri domestik, utamanya garmen yang dihasilkan para produsen mikro, kecil, dan menengah (UMKM) itu tertekan. Kalah bersaing.
Ketiga, impor pakaian bekas ini kegiatan ilegal yang melawan hukum. Harus ditindak. Jadi, kegiatan ini seyogianya tak hanya jadi perhatian Kementerian Keuangan saja, melainkan juga Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

Keempat, ada potensi kejahatan misinvoicing. Mirip kejahatan global, tandas Christiantoko, yakni memanipulasi faktur kepabeanan. Catatan impor di Indonesia lebih kecil ketimbang catatan ekspor dari negara mitra, yang dikenal dengan istilah under-invoicing.
Berdasarkan Riset NEXT Indonesia Center, dalam 20 tahun terakhir (2005-2024) ada perbedaan pencatatan kepabeanan sekitar US$591 juta untuk impor pakaian bekas dengan kode HS 6309 itu. Jika dikonversi ke rupiah dengan rata-rata kurs tengah Bank Indonesia periode tersebut sebesar Rp12.049 per dolar AS, yang nilainya sekitar Rp7,1 triliun. "Nilai transaksi triliunan itulah yang antara lain hilang dari perhitungan bea masuk," urainya.
Sepanjang dua dekade itu, kepabeanan Indonesia mencatat nilai impor pakaian bekas sebesar US$16,4 juta. Sementara catatan negara mitra, nilainya justru mencapai US$607,4 juta. “Perbedaan pencatatan ini sebenarnya bisa bermakna dua hal. Ada manipulasi faktur atau misinvoicing, atau memang barangnya masuk secara ilegal. Namun yang jelas, penerimaan negara mengalami kerugian,” tandasnya.
Selain itu, 10 negara merupakan catatan resmi pengekspor pakaian bekas ke Indonesia: Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Australia, Prancis, Singapura, Afrika Selatan, Jerman, Hong Kong, dan Thailand. Sepanjang 20 tahun terakhir, nilainya mencapai US$13,1 juta atau 79,66% dari total catatan resmi impor Indonesia untuk pakaian bekas.
Namun, menurut data UN Comtrade, 10 negara eksportir pakaian bekas ke Indonesia adalah Malaysia, di urutan pertama, disusul Singapura dan Tiongkok. Padahal khusus untuk Malaysia dan Tiongkok tidak masuk dalam 10 besar eksportir pakaian bekas versi catatan resmi Indonesia yang dikutip dari penyedia data Perserikatan Bangsa-Bangsa itu.
“Informasi itu mengisyaratkan adanya data dari negara-negara eksportir pakaian bekas ke Indonesia yang tidak tercatat secara resmi oleh kepabeanan kita,” imbuhnya.
Kelima, ancaman terjadinya potensi infeksi kulit yang berasal dari pakaian bekas, terutama yang ilegal. "Kementerian Kesehatan perlu menyampaikan edukasi soal ini,” pungkas Christiantoko.
Suroto: Lemahnya Kedaulatan Ekonomi Negara
Sementara itu Suroto mengatakan, thrifting, bak potret telanjang dari lemahnya kedaulatan ekonomi kita. Padahal, negara tegas melarang kegiatan ini seperti tertuang dalam Permendag Nomor 40 Tahun 2022 dan PP Nomor 29 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan bidang perdagangan.
"Artinya, setiap baju bekas impor yang kini beredar adalah barang ilegal. Tetapi publik dengan mudah dapat melihat betapa aturan itu hanya tertulis di atas kertas, karena di lapangan, pakaian bekas impor dijual terang-terangan di depan mata aparat. Ini bukan sekadar masalah hukum, tetapi cermin betapa rapuhnya integritas lembaga penegak ekonomi negara," ujarnya.

Toh thrifting ilegal itu masuk dalam kontainer-kontainer besar lewat pelabuhan dan gudang-gudang logistik. Jalurnya tentu terpantau oleh sistem Bea Cukai. Adapun saat dilakukan razia, yang diburu hanya kuli panggul atau pedagang kecil. Toh di pasar pakaian bekas impor tetap saja membanjir, bahkan dalam jumlah besar.
"Ini jelas permainan belaka. Aparat negara, terutama Bea Cukai, tidak mampu menegakkan aturan negara," tegas Suroto. "Perlu dilakukan reformasi total dalam pengawasan pelabuhan, dan memastikan tidak ada lagi barang thrifting ilegal yang bisa menembus pasar dalam negeri."
Senada dengan Christiantoko, thrifting menyangkut tentang keruntuhan moral ekonomi bangsa. Dampaknya, industri garmen lokal bisa mati pelan-pelan. Ribuan UMKM konveksi gulung tikar akibat kalah bersaing dengan harga pakaian bekas impor yang murahnya tak masuk akal.
Suroto melihat, Kementerian Perindustrian harus menumbuhkan gairah industri garmen nasional. Berikan insentif, perlindungan fiskal, dukungan riset, investasi serius dalam rantai pasok tekstil dari hulu ke hilir. Industri tekstil dalam negeri tidak dibiarkan hidup segan, mati tak mau.
Padahal, garmen dan tekstil adalah sektor industri strategis yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, bisa menciptakan nilai tambah yang tinggi, dan dapat menyangga ekonomi rakyat jika dikelola dengan visi kedaulatan ekonomi.
"Kita kehilangan arah karena gagal membangun sistem industri yang berkeadilan dan berdaya saing," tambah Suroto. "Seharusnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, bisa menjadikan thrifting lokal sebagai model ekonomi hijau yang berkelanjutan. Buat sistem kurasi dan sterilisasi, menciptakan lapangan kerja baru, serta menjadikannya sebagai industri dari agenda ekonomi sirkular nasional yang sehat."
Pemerintah juga harus berani menertibkan pasar, mencopot pejabat yang gagal, dan berani membangun sistem yang berpihak pada produksi rakyat. Jangan lakukan pembiaran thrifting ilegal, sebab kata Suroto lagi, rakyat melihat kalau hukum bisa dinegosiasi, dan pada hilirnya, ini akan meruntuhkan tatanan ekonomi dan sebagainya.
"Seharusnya thrifting jadi cermin untuk melihat betapa rapuhnya fondasi ekonomi kita. Indonesia tidak akan berdaulat secara ekonomi selama pakaian bekas dari luar negeri masih lebih mudah masuk daripada barang buatan rakyatnya sendiri. Kita tidak akan menjadi bangsa besar selama hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sudah saatnya negara berhenti berpura-pura tidak tahu." (*) MTS Foto: Dok IST
Lakukan login terlebih dahulu untuk menambah komentar dan voting
KOMENTAR TERBARU