
hariansuara.com - Pariwisata halal punya pangsa dan daya tarik tersendiri di mata masyarakat dunia. Terkait hal itu, praktisi dan peneliti yang fokus pada pengembangan Halal Tourism, Dr. Fitry Primadona, S.Si., M.M, mengupas fenomena ini yang dipresentasikannya saat idang Terbuka Program Doktor IPB University, 21 Oktober 2025.
Ketika industri wisata dunia kembali menggeliat, ditelitinya, satu segmen yang tumbuh paling cepat: pariwisata halal. Laporan Mastercard-CrescentRating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2024 memperkirakan wisatawan Muslim global mencapai lebih dari 230 juta orang pada 2028, dengan nilai belanja menembus USD 300 miliar.
Angka tersebut menandakan bukan sekadar lonjakan ekonomi, melainkan pergeseran paradigma perjalanan: dari wisata berbasis konsumsi menuju wisata yang berpijak pada nilai spiritual dan keberlanjutan.
Namun pandemi COVID-19 membuktikan betapa rapuhnya industri ini. World Travel & Tourism Council (WTTC) 2024 mencatat kontribusi pariwisata terhadap PDB global sempat turun -48,4 persen pada 2020, dengan 69,5 juta pekerjaan hilang.
Meski pemulihan ekonomi pariwisata telah mencapai USD 11,1 triliun (10 % PDB global), kesenjangan antardestinasi masih lebar. Di antara yang sedang berjuang memperkuat diri adalah Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat, ikon pariwisata halal Indonesia.
Antara Pengakuan dan Kenyataan
Lombok berulang kali mendapat pengakuan dunia, terakhir dinobatkan sebagai World's Best Halal Tourism Destination 2024. Namun di balik gemerlap reputasi itu, masih tersimpan pertanyaan mendasar: apakah pengalaman wisatawan seindah citra yang diusung?
Data Badan Pusat Statistik NTB 2019 mencatat 3,7 juta wisatawan berkunjung ke provinsi ini, dengan sekitar 30 persen di antaranya wisatawan Muslim. Pandemi kemudian memangkas angka itu hingga 55 persen pada 2020, dan hingga kini belum sepenuhnya pulih ke level pra-pandemi.
Lebih jauh, survei Pusat Litbang Pariwisata NTB (2021) menunjukkan 40 persen wisatawan Muslim kurang puas terhadap fasilitas ibadah dan makanan halal, serta 35 persen kesulitan memperoleh informasi digital terkait destinasi halal.
Kesenjangan antara citra global dan kenyataan di lapangan ini menjadi titik awal riset doktoral Dr. Fitry Primadona di IPB University yang berjudul "Model Loyalitas Konsumen dan Implikasinya dalam Pengembangan Wisata Halal di Pulau Lombok, NTB."
Menemukan Akar Loyalitas Wisatawan Halal
Dalam disertasinya, Dr. Fitry Primadona melibatkan 54 pemangku kepentingan (pemerintah, industri, akademisi, komunitas) dalam Focus Group Discussion serta 600 wisatawan Muslim dalam survei kuantitatif yang dianalisis dengan Structural Equation Modeling (SEM).
Hasil analisis menunjukkan bahwa loyalitas wisatawan halal tidak ditentukan oleh label atau promosi, tetapi oleh perpaduan tiga dimensi kunci: atribut layanan halal, nilai yang dirasakan (perceived value), dan kepercayaan (trust).
Ketiganya menciptakan mata rantai emosional, pengalaman halal yang positif menumbuhkan nilai; nilai melahirkan kepuasan; kepuasan memperkuat kepercayaan; dan kepercayaan membangun loyalitas jangka panjang.
Namun kenyataan menunjukkan kurang dari 60 persen pelaku usaha di NTB menerapkan standar halal secara konsisten. Setelah Permenpar No. 2/2014 tentang hotel syariah dicabut tanpa regulasi pengganti, pedoman Fatwa DSN-MUI No. 108/2016 tidak memiliki kekuatan hukum. Sementara Perda NTB No. 2/2016 hanya berlaku lokal, sehingga standar halal di lapangan tetap bervariasi.
Arah Perubahan
Berdasarkan hasil riset yang mendalam, Dr. Fitry Primadona merekomendasikan lima langkah strategis bagi penguatan loyalitas wisatawan halal di Lombok:
1. Sederhanakan sertifikasi halal bagi pelaku UMKM pariwisata.
2. Pastikan konsistensi layanan halal dari transportasi hingga akomodasi.
3. Kembangkan platform digital terpadu berisi data fasilitas dan layanan halal.
4. Bangun branding halal yang inklusif, ramah bagi semua wisatawan.
5. Perkuat edukasi masyarakat lokal agar prinsip halal menjadi budaya layanan.
Dengan implementasi yang sungguh-sungguh, Lombok tidak hanya mempertahankan reputasi globalnya, tetapi juga membangun loyalitas berbasis nilai, loyalitas yang membuat wisatawan ingin kembali bukan karena promosi, melainkan karena pengalaman spiritual yang berkesan.
Refleksi
Bagi Dr. Fitry Primadona, pariwisata halal bukan sekadar sektor ekonomi, melainkan manifestasi nilai Islam dalam praktik keseharian. Lombok memiliki semua modal: alam, budaya, dan pengakuan dunia. Yang dibutuhkan kini adalah komitmen konsisten untuk menautkan keindahan dengan keberkahan.
Ketika kehalalan tidak lagi hanya label, tetapi napas setiap interaksi layanan, Lombok bukan sekadar destinasi halal, namun Lombok akan menjadi ruang spiritual yang dirindukan wisatawan Muslim dunia. (*)
Lakukan login terlebih dahulu untuk menambah komentar dan voting
KOMENTAR TERBARU