hariansuara.com - Buta warna, lebih tepat disebut color deficiency, tak harus memjegal langkah untuk sukses berkarier dan hidup bahagia. Demikian pesan penting bagi para penyandang buta warna dari dokter spesialis mata, dr Andreas Surya Anugrah Sinaga, SpM dalam wawancara zoom dengan hariansuara.com.
“Secara umum, buta warna merupakan gangguan penglihatan sebatas kelemahan dalam pengenalan terhadap warna. Seseorang yang buta warna tetap bisa melakukan sesuatu, mandiri dan produktif. Dunia tak berarti berakhir atau masa depannya pupus karena buta warna,” jelas optamolog dari RSU Hermina dan Mandaya Hospital Karawang, Jawa Barat.
Di Indonesia, lebih lanjut dikatakannya, jumlah penyandang buta warna tidak banyak. Namun, yang patut diketahui, buta warna dialami laki-laki akibat kelainan genetika yang diturunkan dari sang ibu. Pada keluarga, anak perempuan selanjutnya menjadi pembawa (carrier) kelainan genetika tersebut dan menurunkannya kepada anak lelakinya. Begitu seterusnya.
Buta warna karena faktor genetika sifatnya menetap, dan tidak bisa disembuhkan. Adapun buta warna yang didapat (acquired) semasa perjalanan hidup seseorang kemungkinan bisa diupayakan penanganannya. Semisal karena penyakit tertentu, degenerasi pada makula, gangguan saraf mata optik, glaukoma, diabetes, kolesterol, kecanduan alkohol atau obat-obatan tertentu.
“Buta warna terjadi akibat tiga sel kerucut pada makula sebagai pusat penglihatan di retina tidak lengkap jumlahnya atau tidak berfungsi dengan baik. Alhasil, terjadi keterbatasan, kekurangan atau kelemahan dalam mengenali warna,” tambahnya.
Dari ragamnya, ada buta warna sebagian (parsial) di mana penderitanya sulit membedakan antara warna biru dan kuning, atau warna hijau dan merah. Sedangkan buta warna total (achromatopsia) melihat dunia ini hanya warna abu-abu, hitam, dan putih. Namun, tandas dr Andreas, kasus ini sangat jarang, perbandingannya 1:30.000 orang.
Mengendala pada Aktivitas Keseharian
Buta warna parsial dengan derajat ringan umumnya tidak terlalu bermasalah. Benda berwarna merah atau hijau, misalnya, masih bisa dilihat. Tetapi ketika di-overlap pada tes warna yang spesifik, titik-titik warna banyak bertumpang tindih, barulah sulit mengenalinya.
Pada derajat buta warna sedang, seseorang sulit mengenali buah yang ranum dari warna kulitnya. Atau ia tak bisa menilai olahan dagingnya sudah matang dengan melihat perubahan warnanya. Kali lain, tak bisa memadupadankan warna pakaian. Derajat yang lebih berat, tak bisa mengenali lampu lalu lintas.
“Untuk itu, penting sekali bagi orang tua mengetahui kondisi mata putranya sedini mungkin. Caranya, ikutkan anak ke dalam tes warna. Bila benar ada buta warna, maka orang tua atau keluarga bisa mengambil langkah untuk membantu anak agar terbiasa atau beradaptasi dengan kondisi tersebut,” pesan dr Andreas.
Lebih lanjut ditambahkannya, orang tua bisa mengenalkan warna benda kepada anak, yang kemudian akan direkam ke dalam memori otaknya. Anak juga bisa dilatih mengingat posisi warna-warni pada lampu lalu lintas, misalnya. Pencahayaan atau lampu yang terang dapat membantu memperjelas warna benda.
Di luar negeri, ada kacamata atau lensa kontak yang diklaim bisa membantu pada buta warna parsial. Dalam riset selama 10 tahun, ada dua dari 10 representasi yang diperiksa mengaku kacamata itu membantunya melihat warna benda.
"Ini secercah harapan, meski buta warnanya tidak sembuh. Tentu tidak mungkin suplemen dapat menggantikan sel-sel kerucut. Kacamata ini lebih ke masalah filter dan absorb untuk memisahkan warna merah dan hijau sehingga warna bisa lebih dikenali,” demikian dr Andreas lagi.
Di Indonesia, kacamata seperti itu belum ada. Diingatkan dr Andreas agar berhati-hati dan bijak menyikapi fenomena kacamata untuk buta warna ini. Pasalnya, pada online, ditawarkan dengan harga fantastis. Namun efektivitasnya mestilah jadi pertimbangan sebelum membeli.
Penyandang Buta Warna Tetap Bisa Sukses dan Bahagia
Pencegahan jauh lebih baik daripada mengobati. Bagi orang tua, direkomendasikan dr Andreas, untuk berkala memeriksakan mata anak. Mulai saat bayi baru lahir dengan melihat kelopak, bentuk mata, pupil, lingkaran bola mata di tengah bereaksi terhadap benda atau tidak. Tak harus dokter mata yang memeriksanya.
Kemudian, pemeriksaan mata berlanjut saat anak usia 3-6 bulan, 1 tahun, dan 3-5 tahun. Ketia pra sekolah ini anak mesti diperiksakan ke dokter spesialis mata untuk screening yang komprehensif. Terlebih ada keluhan atau punya riwayat gangguan mata di keluarga, tak usah menunda, langsung periksakan anak ke dokter mata agar bisa diawasi secara terjadwal.
Pemeriksaan kembali dilakukan saat anak berangkat remaja, umur 12 tahun. Pada orang dewasa bisa cek mata dua tahun sekali. Yang berusia 40 tahun bisa setahun sekali memeriksakan kesehatan matanya.
Buta warna, yang disandang karena faktor genetik, sepatutnya bisa dicegah melalui premarital screening 6 bulan sebelum pasangan menikah. Pun, gangguan kesehatan lainnya, seperti dirujuk Kementerian Kesehatan, yakni pemeriksaan fisik dasar, infeksi menular seksual, organ reproduksi, dan alergi.
“Bila sudah ada buta warna, jangan kecil hati. Tetap bisa beraktivitas, berbesar hati dan semangat meraih masa depan yang cerah. Kuncinya, menerima dan berdamai dengan buta warna (acceptance), kemudian menentukan langkah alternatif yang positif. Misalnya, di pendidikan, menekuni bidang yang tak lekat dengan warna, seperti bidang akuntansi, finance dan matematika,” pungkas dr Andreas, menyemangati. (*) Melia Hapsarani/MTS Foto: Tangkapan layar zoom, iStock by Jacob Wackerhausen dan IST
Lakukan login terlebih dahulu untuk menambah komentar dan voting
KOMENTAR TERBARU