hariansuara.com - Masih dalam peringatan Hari Anak Sedunia 20 November, UNICEF (United Nations International Children's Emergency Fund) terus menggugah kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak. Ada 54 Pasal tertuang dalam Konvensi Hak Anak, mencakup hak akan hidup, hak perlindungan, hingga hak partisipasi bagi anak.
Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia (Pita Kuning), yang selama ini intens memberikan pendampingan psikososial untuk anak dengan kanker (usia 0-18 tahun) dari keluarga prasejahtera di Indonesia, menyoroti Pasal 24 tentang Hak Anak untuk mendapatkan standar kesehatan dan perawatan medis terbaik. Khususnya, bagi anak dengan kanker.
Sejauh ini jumlah pasien anak terdiagnosis kanker di Indonesia setahun terdapat 11.156 anak (Globocan, 2020). Teratas, jenis kanker darah yang diidap oleh 3.880 dari total kasus. Jumlah pasien kanker anak terus bertambah, tetapi pelayanan kesehatan dan pengobatan kanker anak belum berkembang secara signifikan.
Data Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) 2018 menunjukkan, Indonesia hanya memiliki 14 rumah sakit rujukan untuk kanker anak. Pun, dari 6.000 dokter spesialis anak, hanya 1% atau 60 diantaranya jadi konsultan hematologi-onkologi. Keterbatasan fasilitas kesehatan dan tenaga spesialis ini menghambat proses anak mendapatkan diagnosa secara cepat dan akurat.
Tyas Amalia, Ketua Pita Kuning, membagi temuannya, “Saya temui beberapa kasus pada anak dengan kanker. Saat diagnosis awal, mereka terdiagnosa demam berdarah atau tipes. Setelah penanganan beberapa lama, anak tidak kunjung sembuh, lalu diobservasi mendalam, ternyata ditemukan sel kanker. Ini salah satu tantangan dalam pengobatan kanker, sementara tata laksana penanganan bisa lebih optimal jika kanker ditemukan sedini mungkin.”
Di sisi lain, edukasi mengenai kanker anak belumlah merata, sehingga mayoritas kasus ditemukaan pada stadium lanjut. Ini menyebabkan sangat rendah tingkat kesembuhan kanker anak di Indonesia. Tidak pernah lebih dari 20%. Bisa disimpulkan, pengobatan kanker anak di Indonesia masih jauh dari komitmen mendapatkan hak anak akan kesehatan.
Hak Perlindungan dari Perundungan
Konvensi Hak Anak lainnya, melindungi anak-anak dari kekerasan (Pasal 19). Sejak 2021, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, ratusan kasus kekerasan anak di sekolah, dan tahun ini perundungan atau bullying menjadi bentuk kekerasan dominan kedua (31%). Anak-anak dengan kanker berisiko lebih besar mengalami perundungan (Collins et al., 2018).
Bullying dialami anak pejuang kanker akibat perubahan fisik yang terjadi selama mereka berobat. Pun, karena ketidaktahuan masyarakat yang menempelkan stigma negatif bahwa kanker itu kutukan atau penyakit menular. Akibatnya, anak pejuang kanker menjadi target bullying oleh teman sebayanya.
“Salah satu anak Pita Kuning, karena badannya sangat kurus, tidak memiliki rambut, berbeda dari teman-teman lainnya, ia suka diolok-olok oleh teman-temannya. Itu tentu memengaruhi mentalnya, sehingga jadi lebih suka menyendiri, tidak mau pergi ke sekolah, dan memilih untuk selalu memakai topi karena takut di-bully kembali,” cerita Shaqila Noor, social service officer atau pekerja sosial profesional pendamping anak dengan kanker di Pita Kuning.
Efek perundungan ini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental dan perilaku anak. Misalnya, anak jadi mudah cemas, memiliki ketakutan berlebih, gangguan tidur, dan penurunan prestasi di sekolah. Maraknya bullying ini membuktikan hak perlindungan anak belum terpenuhi secara utuh.
Hak Pendidikan dan Terancam Putus Sekolah
Proses pengobatan kanker yang lama kerap menghambat aktivitas sosial dan akademis anak dengan kanker. Ia harus menghabiskan waktu lebih di rumah sakit, sehingga tidak bisa mengikuti kelas, juga kehilangan kesempatan bermain dan bersosialisasi dengan teman dan lingkungan sekitar. Alhasil, anak jadi rendah diri, murung, dan putus asa.
Penelitian di salah satu rumah singgah di Indonesia kepada orang tua anak usia sekolah dengan kanker menunjukkan 56,1% anak mengalami masalah psikososial (Ratnawati et al., 2024).
Saat kondisi anak sudah stabil dan dapat mengikuti pembelajaran di sekolah, tantangan lain lagi muncul. Anak dengan kanker merasa bersalah ketika tak dapat mengikuti pembelajaran. Ia pun rentan untuk mengisolasi diri, dan timbul keinginan untuk berhenti sekolah.
Hal ini bisa dicegah dengan membuat sistem atau kurikulum yang sesuai kondisi anak kelompok rentan, termasuk anak pejuang kanker.
Secara keseluruhan, bisa dikatakan anak pejuang kanker membutuhkan pemenuhan yang lebih baik akan haknya atas kesehatan, perlindungan, dan pendidikan. Dibutuhkan kerja bersama berbagai pihak agar terpenuhi kualitas hidup bagi anak, terkhusus anak pejuang kanker yang sering terlupakan di Indonesia. (*) Teks & Foto: Pita Kuning/Melia Hapsarani
Lakukan login terlebih dahulu untuk menambah komentar dan voting
KOMENTAR TERBARU